"Bay, bosen gue nih, pengen jalan bareng kalian lagi.."
"Lah, baru aja sebulan lewat lu maen kesini.."
"Emang sih..butuh refresh lagi nih gue..eh, bulan Maret ini ada tanggal merah lagi tuh!"
"Masa? Tanggal berapa?"
"Tanggal 23 hari Jumat, apa gue kesono lagi yah?"
"Eh, beneran lu? Oh tapi gue bakal diajakin temen kantor pergi tanggal segitu.."
"Oh, ngga bisa ya? Mau pergi kemana emangnya?"
"Naik gunung, bareng temen-temennya yang lain..eh, apa lu ikut aja ya? Ntar ajakin Agus juga"
"Naik gunung?"
"Iya, naik Gunung Pangrango ke lembah Mandalawangi yang ada di film 'Gie' itu, ntar biar gue ada temennya, soalnya gue cuma kenal Ardi doang.."
"Kayaknya menarik sih, tapi gue belom pernah naik gunung loh.."
"Nah makanya lu temenin gue, itu si Ardi sama temen-temennya udah expert semua, mereka baru pulang dari Rinjani katanya.."
"Emang ngga apa-apa nih lu ajak orang lagi?"
"Ngga apa kok, ntar tinggal gue bilangin ke Ardi"
"Oke deh, ntar gue kabarin lagi, sekalian gue kasih tau Agus juga"
Maka jadilah pada bulan Maret gue naik gunung bareng teman-teman. Awalnya sempat ragu karena ngga punya pengalaman di kegiatan pencinta alam. Bukannya gue ngga mencintai alam sih. Gue juga suka kok sama pemandangan alam tapi terus terang gue belum pernah sampai punya niat menjelajah medan yang sulit untuk menikmati keindahan alam. Dulu masa kuliah gue pernah menjelajah bukit dan tinggal di perkampungan Baduy selama seminggu (Baca ini : Jelajah Baduy), tapi itu juga karena kepentingan penelitian bukan karena hobi. Baru kali ini gue mulai merasa tertarik karena kayaknya bakal dapat pengalaman yang beda dari biasanya. Naik gunung? Ayo aja!
All bags are packed, ready to go! |
Dari kamis malam gue udah ada di rumahnya Bayu, prepare segala macam perlengkapan yang diperlukan, dari mulai ransel/carrier, sleeping bag, matras, pakaian, sandal gunung, sampai bahan makanan, minuman dan obat-obatan. Daftar perlengkapannya lumayan panjang yang infonya gue kumpulin dari browsing sana-sini plus daftar yang dikasih sama Ardi, sang pemimpin ekspedisi. Masing-masing harus membawa beras 2 liter, indomie 2 bungkus, telur 4 butir, dan air minum 3 botol ukuran 1,5 liter. Repot juga sih karena banyak juga yang musti disiapin. Tapi memang disitulah seninya travelling, yaitu saat kita packing. Masih untung cuma bawa keperluan sendiri, karena segala perlengkapan masak dan bahan logistik lain bagian Ardi dan teman-temannya yang bawa.
Rencananya perjalanan akan dimulai hari Jumat sore, ketemuan di terminal Kampung Rambutan dan berangkat dari sana. Begitu semua udah ngumpul, gue agak shock ngeliat perlengkapan Ardi dan dua temannya. Kalo pas berangkat dari rumah Bayu gue udah ngerasa bawa barang lumayan banyak dan berat, itu belum apa-apa sama yang dibawa Ardi, Ucok dan Heri. Ukuran carrier mereka yang super gede bikin ransel gue udah kayak tas anak sekolahan berukuran mini. Gue lantas mikir, Buset! itu tas isinya apa aja yah? Hehe, mungkin mereka juga kepikiran hal yang sama pas lihat ransel 'kecil' gue. Agak tengsin sih karena keliatan banget ngga ada pengalamannya, tapi gue cuek aja lah. Toh, mereka reaksinya biasa-biasa juga.
FYI, 3 jalur utama yang biasa ditempuh menuju puncak Gunung Gede dan Pangrango adalah jalur Cibodas, Gunung Putri dan Selabintana. Tapi kali ini jalur yang kami pilih adalah jalur Geger Bentang. Mengapa ngga pilih jalur yang biasa? Karena harus menunggu sampai 1 April mengingat saat itu jalur biasa masih ditutup. Lagipula Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memberlakukan sistem booking untuk pendakiannya, dan kuotanya kemungkinan sudah penuh untuk bulan April ini. So, jalur Geger Bentang menjadi alternatif menuju puncak Pangrango buat yang ngga sabar nunggu dan males mengurus booking. Gue sih yang ngga ‘ngeh’ bedanya jalur biasa dan ngga biasa, ya ngikut aja deh.
Sebelum berangkat, Ardi yang udah belanja macam-macam keperluan langsung membagi muatan ke yang lain. Jadilah bawaan kami masing-masing ditambah 1 tabung gas kecil, sayur-sayuran/buah dan snack/makanan ringan. Setelah semua personil lengkap dan siap, kami berangkat naik sebuah bus jurusan Cipanas yang lewat Cibodas. Karena suasana liburan, hari itu jalanan ke arah puncak macet banget, bikin bosan dan ngantuk pokoknya. Sempat terhenti berjam-jam karena berlaku sistem satu arah, akhirnya sekitar jam 10 malam kami sampai juga di Cibodas. Setelah mampir sebentar ke minimarket (buat nambahin muatan lagi), kami kemudian naik angkot sampai ke sebuah tempat mirip terminal kecil di perkampungan penduduk.
Udara malam itu udah berasa dingin, kami sempat berhenti sebentar untuk sekedar ke toilet terdekat sebelum terus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pos berikutnya di batas hutan. Dingin-dingin begitu agak kaget juga diajak jalan kaki turun ke lahan penduduk sambil memikul tas yang lumayan berat. Dari areal ladang yang ngga ada penerangan selain dari headlamp masing-masing, kami lalu jalan agak menanjak ke sebuah bukit untuk mendirikan kemah disana. Setelah hampir setengah jam berjalan dan mendaki, sampai juga kami ke sebuah tanah datar yang banyak pohon pinusnya. Fiuhhh..capekkk...
Udara malam itu udah berasa dingin, kami sempat berhenti sebentar untuk sekedar ke toilet terdekat sebelum terus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pos berikutnya di batas hutan. Dingin-dingin begitu agak kaget juga diajak jalan kaki turun ke lahan penduduk sambil memikul tas yang lumayan berat. Dari areal ladang yang ngga ada penerangan selain dari headlamp masing-masing, kami lalu jalan agak menanjak ke sebuah bukit untuk mendirikan kemah disana. Setelah hampir setengah jam berjalan dan mendaki, sampai juga kami ke sebuah tanah datar yang banyak pohon pinusnya. Fiuhhh..capekkk...
Setelah flysheet dipasang menyerupai tenda dan matras digelar, teman-teman pun membongkar tas dan menyiapkan peralatan masak serta bahan makanan untuk makan malam hari itu. Gue dan Bayu yang masih kecapean bin ngos-ngosan memilih untuk nontonin aja. Hehe..ngga sepenuhnya juga sih, ada lah bantu-bantu dikit, potong-potong sayur atau kupas bawang. Lagian ngga enak kan mengambil alih pekerjaan masak yang kayaknya dengan penuh semangat udah dikerjain sama Ardi, Ucok, dan Heri..Hoho.. Maklum, merekalah yang udah berpengalaman masak di alam terbuka, sedangkan gue sendiri bisanya masak yang simpel-simpel aja.
Beruntung hari gini udah ada kompor gas yang tabungnya mudah dibawa kemana-mana, jadi merebus air, masak nasi ngga perlu repot nunggu lama. Coba bayangin kalo harus masak pake api unggun atau bawa-bawa kompor minyak yang berat (mana minyak tanah juga udah langka kan). Hidangan malam itu cukup sederhana, berupa nasi, tumis sayur sawi ditambah lauk pauk yang udah dibawa sendiri. Semua makan dengan lahap meski udah hampir tengah malam, dan dilanjutkan tidur simpan energi buat besok.
Baca terus lanjutannya.. Ekspedisi Mandalawangi (Peak of Pangrango) – Pt.2
Beruntung hari gini udah ada kompor gas yang tabungnya mudah dibawa kemana-mana, jadi merebus air, masak nasi ngga perlu repot nunggu lama. Coba bayangin kalo harus masak pake api unggun atau bawa-bawa kompor minyak yang berat (mana minyak tanah juga udah langka kan). Hidangan malam itu cukup sederhana, berupa nasi, tumis sayur sawi ditambah lauk pauk yang udah dibawa sendiri. Semua makan dengan lahap meski udah hampir tengah malam, dan dilanjutkan tidur simpan energi buat besok.
Baca terus lanjutannya.. Ekspedisi Mandalawangi (Peak of Pangrango) – Pt.2
0 komentar:
Post a Comment