Sunday, March 31, 2013

Ilusi Wajah


Face Illusion
Awalnya ngga kepikiran dengan jenis manipulasi foto yang seperti ini, karena biasanya utak-atik Photoshop yang biasa saya lakukan lebih banyak membuat sesuatu yang ngga wajar menjadi terlihat wajar, atau hanya untuk memperbaiki dan meminimalisir kekurangan sebuah foto.

Sampai pada suatu ketika (yang kalo bahasa inggrisnya 'Once upon a time', hehe..), saudara laki-laki saya bilang kalau dia pernah melihat sebuah foto wajah yang konsepnya ilusi tampak depan dan samping. Waktu itu saya belum bisa membayangkan seperti apa foto yang dimaksud. Sampai pada suatu hari (tepatnya baru kemarin) secara ngga sengaja saya ketemu foto ilusi wajah seperti yang dibilang saudara saya itu.

Foto ilusi wajah yang saya lihat benar-benar membuat saya bingung, karena bisa menggabungkan dua sisi wajah yaitu tampak depan dan samping. Memang setau saya konsep sebuah gambar ilusi adalah memuat dua atau lebih informasi yang berbeda dalam satu gambar, sehingga menimbulkan kesan rancu dalam penafsirannya.

Karena penasaran, maka saya pun iseng coba menyatukan dua foto tampak depan dan samping wajah saudara saya itu (yang bersedia menjadi volunteer :p ). Meski ngga butuh waktu yang cukup lama, saya berani bilang membuat foto ilusi seperti ini bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahkan sejak awal mengambil gambar objek wajahnya.

Pencahayaan adalah hal yang sangat krusial dalam penggabungan foto. Dua foto yang ingin digabungkan lebih baik punya tone warna yang sama. Besarnya ukuran foto tentu juga harus disamakan. Dalam membuat ilusi wajah seperti ini, kita harus tau bagian-bagian mana yang dipertahankan dan mana yang dibuang dari masing-masing tampilan (depan dan samping).  

Nah, buat yang suka mengutak-atik Adobe Photoshop, bisa coba membuat foto ilusi wajah seperti ini. Just for fun!

Saturday, March 23, 2013

Eksak atau Sosial?

Jika dihadapkan dengan dua kata di atas, maka manakah yang ingin kita pilih?
Oke, sebelum makin bingung dengan pertanyaan ini, mari diperjelas dulu apa maksud keduanya.

Eksak dan sosial yang saya maksud merujuk dari dua macam keilmuan yang sebenarnya beda tapi sama. Kenapa saya bilang begitu, karena sampai saat ini saya sering menemui situasi saat keduanya dibedakan, meski menurut saya keduanya tetap sama saja.

Secara cakupan bahasan, memang sih keduanya berbeda. Yang satu dikenal dengan ilmu pasti, dan yang lain begitu relatif benar atau salahnya. Simpelnya, ilmu eksak sering dianggap ilmu 'hitung-hitungan' sedangkan ilmu sosial cenderung ke hafalan.

Ada yang bilang, ilmu eksak itu logis dan 'to the point', sedangkan ilmu sosial itu abstrak dan berbelit-belit. Ngga sedikit yang bilang ilmu eksak itu rumit dengan angka-angka dan rumus, sedangkan ilmu sosial selalu berkutat dengan materi dan tulisan. Ada pula yang bilang kalau orang sosial cenderung lebih suka berdiskusi dan pandai berbicara ketimbang orang eksak.

Begitu terang-terangan keduanya dibedakan, bahkan saat masuk ke jenjang pendidikan tertentu para siswa diharuskan memilih antara ingin masuk ke kelas IPA atau kelas IPS. Dasar memilihnya apalagi kalau bukan pertanyaan semacam, 'lebih suka menghitung atau menghafal?' (Iya kan?)

Fenomena ini terjadinya berulang-ulang sehingga membentuk pola pikir sebagian orang untuk mengkotakkannya menjadi dua hal yang sifatnya dominan dan yang minoritas. Orang eksak jadi malas menghafal dan orang sosial agak anti menghitung.

Setelah saya pikir-pikir lagi, jika ada yang bilang orang eksak ngga suka menghafal, menurut saya pendapat itu ngga sepenuhnya benar. Karena orang yang ingin mendalami ilmu eksak pun harus punya kemampuan menghafal yang baik. Kalau ngga begitu, bagaimana bisa mengingat rumus-rumus yang sedemikian banyaknya?

Memang sih, logika sangat dimainkan dalam ilmu eksak, tapi memori yang baik tetap diperlukan untuk me-recall logika mana yang akan dipakai. Yang berbeda adalah cara menghafalnya. Orang eksak harus rajin berlatih bermain rumus dan angka yang secara ngga langsung dapat memperkaya memori mereka. Kecenderungan inilah yang mungkin dihindari oleh orang sosial yang mengaku anti angka dan rumus.

Beberapa orang juga berpendapat, kemampuan bicara, bermain kata-kata dan menguasai bahasa hanya dimiliki oleh orang sosial. Tapi coba lihatlah profesi dokter. Seorang dokter adalah orang yang ngga diragukan lagi keilmuan eksaknya. Tapi jika dibilang ia ngga perlu menghafal dan menguasai bahasa, bagaimana cara ia mempelajari berbagai istilah kedokteran yang didominasi dengan bahasa asing? Bagaimana pula ia bisa mengkomunikasikan konsultasi pengobatan kepada pasiennya jika ia ngga 'pandai berbicara'?

Begitu pula dengan ilmu sosial, jika ada yang berpendapat kalau keilmuan ini ngga perlu mengolah angka, lalu kenapa akuntansi digolongkan ke dalam ilmu sosial? (padahal seorang akuntan jelas-jelas sering menghitung angka). Dan tentunya seorang pengacara atau politikus pun masih memerlukan data-data kuantitatif (yang berupa angka) untuk menunjang pekerjaannya.

Lalu bagaimana dengan orang yang merasa di antara keduanya sama kuat? (ataupun sama lemahnya). Saya sendiri misalnya. Jujur sampai sekarang saya belum bisa benar-benar yakin apakah saya termasuk orang eksak atau orang sosial. Memang sih, saya akhirnya menempuh pendidikan yang ilmunya didominasi eksakta, tapi kalau harus berdiskusi tentang hal-hal sosial kadang saya bisa sangat menyukainya.

Maka sebelum buru-buru menentukan pola pikir manakah antara eksak dan sosial yang cocok bagi diri kita, buang dulu anggapan kalau kita akan selalu berkutat dengan hal-hal yang kita pilih saja. Karena pada dasarnya semua aspek sangat diperlukan di dalam pekerjaan dan kehidupan kita nantinya. Perbedaan di antara eksak dan sosial bukanlah bertujuan untuk membuat keduanya semakin berseberangan, tapi justru untuk saling mendukung satu sama lain.

Jadi, masih perlukah menanyakan apa yang akan kita pilih antara eksak dan sosial?

Saturday, March 16, 2013

To be liked, there’s nothing to do but “Be Yourself”

Frase “be yourself” sepertinya sudah bukan hal asing lagi di telinga kita. Frase yang artinya “jadilah diri sendiri” ini seringkali jadi suatu acuan motivasi untuk setiap orang yang mulai mengalami krisis ‘pede’ dan suka meniru-niru jati diri orang lain.

Sebelum mulai membiasakan bersikap menjadi diri sendiri, ngga ada hal yang lebih penting daripada mengenal diri sendiri dulu. Karena bagaimana orang lain akan mengenal kita jika kita sendiri belum mengenal dan memahami diri sendiri?

Memang, hal-hal seperti kepercayaan, pola pikir, kebiasaan, dan sikap kita adalah hasil pembelajaran dari budaya dan lingkungan sosial dimana kita dibesarkan. Semua dibentuk dari luar diri kita. Tapi meski begitu, jauh di dalam diri kita sebenarnya masih ada sesuatu yang khas, yang menjadi identitas, yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya.

Sesuatu itulah yang membantu otak manusia memilih apa yang ingin dan ngga ingin ia pelajari. Sesuatu itulah yang membuat manusia merasa nyaman atau ngga nyaman dengan suatu hal. Dan kecenderungan itu ngga akan sama pada setiap orang. Jika sifat dua individu kembar aja masih mungkin berbeda, apalagi pada individu yang bukan bersaudara.

Identitas itulah yang seharusnya menjadi dasar setiap orang saat ingin menjadi diri sendiri. Hal itulah yang seharusnya ngga akan pernah dilupakan seberapa sering pun ia mengalami perubahan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...