Pagi-pagi saat bangun udara berasa dingin banget. Meski enak ngelanjutin tidur tapi harus tetap maksain bangun biar ngga kesiangan saat mendaki nanti. Gue mencoba jalan ke pinggir hutan untuk mencari sunlight biar lebih hangat. Saat itu gue bisa melihat dari kejauhan puncak gunung Pangrango yang ngga berjauhan dengan gunung Gede. Wow..!! Meski seakan terlihat dekat, tapi kelihatannya perjalanan masih sangat jauh. Setelah cukup sarapan, sekitar pukul delapan pagi kami mulai membongkar flysheet dan packing semua barang-barang kembali untuk kemudian melanjutkan pendakian.
Puncak Gunung Pangrango dari kejauhan |
Udara pagi yang masih sejuk bikin gue ngga begitu keringatan meski berjalan dengan beban yang lumayan berat di punggung. Lagian tas gue yang paling kecil membuat gue ngga berani mengeluh, apalagi yang lain juga kelihatannya ngga ada masalah. Formasi barisan dipimpin oleh Ucok dan Heri yang jalan di depan, diikuti oleh gue, Ardi dan Bayu di belakang. Gue bener-bener salut sama Ucok dan Heri. Meski bawaan mereka lebih banyak dan berat, tapi tetap aja jalannya paling depan. Gue yang mencoba nyusul malah berkali-kali ketinggalan jauh di belakang. Untungnya Bayu dan Ardi jalannya agak nyantai di belakang gue. Tapi seringkali malah gue jadinya jalan sendirian, karena jalan lebih dulu dari Bayu dan Ardi tapi ngga bisa menyusul Ucok dan Heri.
Trek yang ditempuh memang bukan trek yang biasa, karena medannya lebih sulit dengan kondisi semak yang lebih rimbun, batang pohon tumbang disana-sini dan tanjakan yang agak curam. Agak surprise juga sih menghadapinya, karena jujur di awal gue ngebayangin jalan yang ditempuh ngga akan se-ekstrem itu. Beberapa kali gue harus benar-benar memanjat dan berpegangan pada akar pohon karena kemiringan tanahnya yang lumayan terjal. Beberapa kali juga gue harus kepeleset karena tanah yang lembab dan licin. Untung hari itu lumayan cerah, ngga kebayang gimana susahnya mendaki kalo turun hujan. Makin lama berjalan, otot-otot dari bahu sampai kaki makin terasa sakit. Sesekali gue berhenti sebentar untuk sekedar menunggu Bayu dan Ardi di belakang sambil minum air beberapa teguk, sementara Ucok dan Heri udah terlampau jauh berada di depan.
Menjelang tengah hari, sampailah kami ke sebuah lahan datar. Eits..! Belum nyampe puncak ternyata, tapi baru di bagian ‘punggung’ Pangrango (Hmm..bayangkan punggungnya sebuah gunung). Inilah Geger Bentang yang memiliki ketinggian 2.042 m dpl dan memang merupakan punggungan dari Gunung Pangrango. Meski capek, tapi lega juga bisa ketemu medan yang ngga menanjak lagi dan ada jeda waktu untuk istirahat. Katanya dari Geger Bentang ke puncak Pangrango paling ngga butuh waktu 12 jam lagi (What..??).
Rehat dulu di Geger Bentang |
Disana ternyata kami bukan satu-satunya kelompok pendaki, tetapi ada juga kelompok lain yang bahkan sudah mendirikan sebuah tenda. Mereka jumlahnya ada sekitar lima orang, dua diantaranya adalah perempuan. Sambil beristirahat sekedar minum teh hangat dan makan makanan ringan, kami pun mengobrol dengan mereka yang sepertinya sudah bermalam sebelumnya disana. Rupanya mereka ngga bertujuan mendaki sampai puncak, tetapi justru sudah mau turun lagi. Obrolan ngga berlangsung lama karena kami kemudian kembali melanjutkan perjalanan yang mungkin baru separuhnya ditempuh.
Bertemu para pendaki lain di Geger Bentang |
Sempat mengira ketemu jalan menanjak lagi, ternyata justru semakin lama jalannya semakin menurun. Agak nyantai memang, tapi baru kemudian gue sadar jalan menurun begini justru akan berasa susah saat pulangnya nanti. Jalan setapak yang makin sempit dan semak berduri semakin sering kami temui. Kalo ngga hati-hati melangkah dan mata kurang awas, bisa-bisa kaki atau muka jadi sasaran duri-duri ranting rotan yang tajam. Memang paling aman pakai pakaian yang serba tertutup agar kulit lebih terlindungi. Sarung tangan juga sangat perlu agar tangan kita bisa leluasa berpegangan pada dahan atau bertumpu pada tanah tanpa takut lecet ataupun kotor. Disarankan juga memakai celana dari bahan kain (bukan jeans) supaya ngga terasa berat saat dibawa berjalan berjam-jam. Sepanjang perjalanan sesekali kami juga ketemu jenis tanaman eksotis seperti kantong semar dan anggrek hutan. The nature is so natural..
Hampir dua jam berjalan kaki, kami sampai ke sebuah lembah yang tanahnya datar dan agak lembab. Teman-teman memutuskan untuk beristirahat lagi dan makan siang. Baru saja gue mau duduk rileks sambil meluruskan kaki, tiba-tiba si Ucok mendapati ada seekor pacet di dekat kakinya. Spontan gue langsung ngga jadi duduk, tapi jadi belingsatan lihat ke sekeliling gue kalo-kalo ada pacet juga. Maklum, agak ‘geli’ kalo berurusan sama makhluk kecil yang jalannya meliuk-liuk itu. Bayu pun ikut-ikutan, ternyata reaksinya juga sama kalo lihat pacet. Hehe..agak konyol sih, sikap pencinta alamnya masih belum total. Di hutan bertanah lembab begitu memang wajar ada banyak pacet. Meski begitu kami tetap beristirahat dan memasak makanan disana karena hari sudah terlalu siang. Sambil makan sesekali gue lihat kanan-kiri dan berhasil menggagalkan beberapa ekor pacet yang sedang pelan-pelan berjalan merayap mendekat. Go away tiny bloodsucker! I won’t let you get any closer!! >_<
Baca terus lanjutannya.. Ekspedisi Mandalawangi (Peak of Pangrango) – Pt.3
Baca terus lanjutannya.. Ekspedisi Mandalawangi (Peak of Pangrango) – Pt.3
0 komentar:
Post a Comment