Day
1, Sabtu, 14 Mei 2011 (part one)
|
Bandara Palembang |
Sesuai
rencana, teman-teman gue dateng ke Palembang pada hari Sabtu. Pada awalnya gue ngusulin agar mereka ambil penerbangan di Jumat sore, biar mereka bisa
beristirahat dulu malamnya sebelum mulai jalan-jalan di hari Sabtu. Tapi karena
mereka masih ada kerjaan di hari Jumat (maklum mereka orang-orang yang sok super sibuk ), maka jadilah mereka baru
bisa tiba di hari Sabtu. Itu pun sudah agak siang menjelang sore, sebabnya
apalagi kalau bukan karena jadwal penerbangan di negeri ini yang sudah ‘biasa’ delayed.
|
Beberapa menit setelah kedatangan mereka |
Ga heran
kalo lihat ekspresi mereka yang kayaknya capek (tapi masih sempat pose) begitu
sampai di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Mungkin capek nunggu
berjam-jam di airport ditambah efek jetlag penerbangan Jakarta-Palembang yang
lamanya sekitar 50 menit dan perut laper.
Meski sebenernya gue juga ga kalah capek menunggu berjam-jam di bandara, tapi
gue tetap semangat ’11 demi menyambut kedatangan my best friends ever! Here they are, Welcome to Palembang!
Kedatangan
mereka sempat disambut hujan yang lumayan deras di sore hari. Akhirnya gue ajak
mereka naik taksi, padahal tadinya mau naik TransMusi aja, jurusan Bandara –
Kota. Meski ga jadi menekan biaya perjalanan alias ngirit (ongkos TransMusi cuma Rp. 3000,-/orang), tapi ga apalah. Kondisi
cuaca saat itu ga memungkinkan untuk sambung-menyambung angkutan umum. Sebagai teman
yang baik (dan rajin menabung) gue kasian kalau teman-teman gue harus
hujan-hujanan. FYI, cari taksi di Palembang gampang-gampang susah. Gampang cari
mobilnya, susah tawar-menawar tarifnya. Bukan karena taksi disini ga bisa pakai
argo. Tapi kalau argonya argo kuda ya mendingan kita pake kesepakatan harga di
awal aja. Tarif pasaran taksi bandara ke kota sekitar Rp. 70.000,-. Kalau jago
nego, mungkin bisa nawar di bawah itu. Tapi berhubung kami tiga orang, jadi
ga lama-lama nawar harga, nanti keburu temen-temen gue pingsan kelaperan kalau
harus nunggu lebih lama lagi.
Dari
bandara, kami bertiga langsung meluncur ke kos-kosan gue. Oya, sempat ada
perdebatan apakah selama di Palembang mereka akan tinggal di hotel atau di
kos-kosan gue. Tapi akhirnya karena pertimbangan kepraktisan dan juga (lagi-lagi)
bujet, maka diputuskanlah mereka tinggal di kos-kosan gue aja. Selain masih ada
kamar kosong (yang ga dikunci) yang bisa mereka tempati, biarlah suasananya
masih terasa kayak jaman kuliah dulu (hoho, alasan diplomatis orang-orang
yang ga berdompet tebal). Toh, dulu kami
juga pernah bertahun-tahun tinggal di kos-kosan yang sama. Hitung-hitung reuni.
|
Mesjid Agung Palembang yang memang terlihat Agung |
Karena
di siang hari udah habis untuk perjalanan mereka, ditambah sorenya hujan ga bisa kemana-mana, maka waktu untuk
jalan-jalan di hari itu adalah malam harinya. Here we go! Dimulai dengan sholat Maghrib di Mesjid Agung
Palembang, mesjid besar yang ada di pusat kota. Mesjid ini dipengaruhi oleh 3
arsitektur yakni Indonesia, Cina dan Eropa. Arsitektur Cina dilihat dari
mesjid utama yang atapnya seperti kelenteng. Sedangkan bentuk arsitektur Eropa
terlihat dari pintu masuk di gedung baru mesjid yang besar dan tinggi. Suasana sakral dan khidmat sangat terasa begitu memasuki bagian dalam mesjid. Mesjid
ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin
Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Semula pertama kali dibangun
memiliki luas 1080 meter persegi, yang bisa menampung 1200 jemaah. Setelah
mengalami perluasan hingga sekarang, luasnya menjadi 5520 meter persegi dengan
daya tampung 7.750 jemaah.
Sehabis
sholat, kami lanjutkan ke sesi foto-foto di sekitar areal mesjid dan air
mancur yang ada di dekat situ. Sebenernya perut masing-masing udah kelaparan (lagi), tapi karena nanggung, mumpung ada di
areal yang bagus buat capture memory,
jadi ga apalah menahan lapar sedikit. Kan salah satu tujuan jalan-jalan adalah
foto-foto (pengakuan diplomatis orang-orang narsis
bin eksis, hehe..)
|
Di pelataran Mesjid Agung |
|
Bandingkan ukuran gerbang raksasa dan si manusianya |
|
Background air mancur |
Jadwalnya
makan malam (yang sudah agak kemaleman) kami pilih di kawasan Taman Kambang
Iwak. Kambang Iwak adalah kolam yang dibangun pemerintah Belanda pada 1920-an
yang dikelilingi pepohonan besar. Kawasan ini menjadi tempat berolahraga di
pagi hari, dan tempat nongkrong
anak-anak muda di malam hari.
|
Mari makan |
Makanannya
sih biasa, tapi minumnya, eh tempatnya lumayan enak. Agak rame,
tapi karena di malam hari jadi suasananya beda. Gue pesen salah satu
makanan khas Palembang, Pindang Daging. Rasa kuahnya khas, asem, gurih dan
pedas dengan daging sapi yang empuk. Si Bayu
pesan Malbi, sejenis Rendang Padang, tapi ga pedas, rasanya manis-gurih
dan warnanya lebih gelap. Sedangkan Agus cuma pesan makanan standar: nasi goreng.
Katanya dia bagian icip-icip aja. Tapi belakangan dia tambah pesanan lagi, Model. Bukan pesan fotomodel loh! Tapi itu
nama makanan khas Palembang yang lain. Model adalah salah satu makanan khas Palembang yang mirip
seperti pempek direbus. Disajikan dengan diiris dan dicampur kuah bening
seperti kuah sop. Makanan ini lebih mirip dengan Tekwan (Makanan
khas Palembang yang lain).
Perbedaannya kalau tekwan adalah adonan pempek yang dibentuk kecil-kecil lalu direbus, sedangkan model yakni tahu
yang dibungkus dengan pempek. Pokoknya meski ga banyak yang mereka cicipi, malam itu lumayan untuk membuka awal 'wisata kuliner' di Palembang.
Lanjut ke : Welcoming My Best Friends (Jembatan Ampera)
0 komentar:
Post a Comment