Saturday, March 16, 2013

To be liked, there’s nothing to do but “Be Yourself”

Frase “be yourself” sepertinya sudah bukan hal asing lagi di telinga kita. Frase yang artinya “jadilah diri sendiri” ini seringkali jadi suatu acuan motivasi untuk setiap orang yang mulai mengalami krisis ‘pede’ dan suka meniru-niru jati diri orang lain.

Sebelum mulai membiasakan bersikap menjadi diri sendiri, ngga ada hal yang lebih penting daripada mengenal diri sendiri dulu. Karena bagaimana orang lain akan mengenal kita jika kita sendiri belum mengenal dan memahami diri sendiri?

Memang, hal-hal seperti kepercayaan, pola pikir, kebiasaan, dan sikap kita adalah hasil pembelajaran dari budaya dan lingkungan sosial dimana kita dibesarkan. Semua dibentuk dari luar diri kita. Tapi meski begitu, jauh di dalam diri kita sebenarnya masih ada sesuatu yang khas, yang menjadi identitas, yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya.

Sesuatu itulah yang membantu otak manusia memilih apa yang ingin dan ngga ingin ia pelajari. Sesuatu itulah yang membuat manusia merasa nyaman atau ngga nyaman dengan suatu hal. Dan kecenderungan itu ngga akan sama pada setiap orang. Jika sifat dua individu kembar aja masih mungkin berbeda, apalagi pada individu yang bukan bersaudara.

Identitas itulah yang seharusnya menjadi dasar setiap orang saat ingin menjadi diri sendiri. Hal itulah yang seharusnya ngga akan pernah dilupakan seberapa sering pun ia mengalami perubahan.

Sudah jadi kewajaran jika kita ingin selalu dianggap baik oleh orang lain. Dan bukan hal yang salah jika ingin selalu diterima dalam lingkungan pergaulan sehari-hari. Tapi apakah dengan begitu kita lantas harus melakukan apapun untuk mencapai tujuan kita? Bahkan dengan mereplika diri orang lain dan melupakan diri kita yang sebenarnya?

Ilustrasinya begini, saat kita melihat seorang penyanyi yang disukai banyak orang karena suaranya, maka kita pun ingin orang menyukai kita karena hal yang sama, padahal kita bahkan ngga bisa menyanyi. Apakah hasilnya akan sama?

Atau situasi lain, saat kita melihat seseorang dengan pembawaan periang disukai beberapa orang karena gaya bercandanya yang ‘agak’ blak-blakan, maka kita yang pembawaan aslinya pendiam dan kalem ingin melakukan hal yang sama hanya agar disukai pula oleh banyak orang. Bukankah situasinya justru akan menjadi aneh?

Saat ada yang menyukai kita, tentunya itu lebih baik dikarenakan sesuatu yang memang asalnya dari dalam diri sendiri, khasnya kita. Dengan begitu sikap kita tentunya akan lebih lepas dan ngga kaku. Tapi lain halnya kalau itu karena kita berhasil ‘meniru’ sifat khas orang lain (yang sebenarnya kontradiktif dengan sifat asli). Kita tentu akan merasa kurang lepas dan lama-kelamaan akan capek terus berpura-pura.

Penting untuk diketahui, kita ngga mungkin bisa memuaskan setiap orang seperti juga ngga setiap orang bisa memuaskan kita. Ada hal-hal yang memang orang sukai dari kita, dan ada pula yang disukai dari yang lain. Bukan kewajiban kita untuk membuat semua hal yang disukai itu berasal dari kita, terutama jika itu adalah hal yang ngga mampu kita lakukan.

Sebenarnya, salahkah kita kalau ingin meniru orang lain? Sah-sah aja sih, tapi selama meniru itu bukan tujuannya untuk menjadi persis seperti yang ditiru. Jadi semua balik lagi ke tujuan awalnya. Meniru untuk menjadi lebih baik adalah hal yang sangat positif. Manusia yang berpikir adalah yang kondisinya dari waktu ke waktu mengalami peningkatan kan, bukan yang ngga pernah berubah atau malah yang mengalami penurunan.

Menjadi diri sendiri kelihatannya memang lebih mudah diucapkan ketimbang diterapkan di kehidupan sehari-hari. Tapi susah dilakukan bukan berarti ngga bisa dilakukan sama sekali kan. Kita hanya perlu mulai membiasakannya. :)

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...